Minggu, 27 Mei 2018

Dedi Mulyadi Soroti Sistem Politik Serba Instan dengan Sebutan "Politik Prostitutif"

Berita Pusat - Calon Wakil Gubernur Jawa Barat nomor urut 4, Dedi Mulyadi menyinggung wajah perpolitikan saat ini yang banyak menganut sistem serba instan, demi niatan mendulang suara. Dalam hal ini, Dedi menyebutnya dengan 'politik prostitutif'.

Jenis politik ini, menurut mantan Bupati Purwakarta dua periode itu, hanya berorientasi pada aspek jangka pendek dan miskin nilai. Padahal semestinya, politik diisi dengan muatan moral, etika, dan logika kebangsaan yang luhur, yang berorientasi pada ideologi sebuah bangsa.

"Kalau dalam politik hanya berniat mendulang suara, maka itu politik prostitutif karena semuanya ditempuh dalam jangka pendek. Visinya serba pendek, silaturahminya serba pendek. Seharusnya, kita membangun politik ideologis," kata Dedi saat memenuhi undangan Dewan Pembina DPP Partai Golkar Abu Rizal Bakrie di Babelan Kota, Kabupaten Bekasi, Minggu (27/5/2018).

Menurut pria yang identik dengan iket Sundanya itu, keberadaan politik prostitutif yang kian menjamur terutama saat menjelang perhelatan pesta demokrasi, jelas sangat merugikan pemilih. Itu karena masyarakat hanya disapa dan diajak membangun komunikasi saat proses jelang pemilihan berlangsung. Selanjutnya, apa yang menjadi pembahasan program dan gagasan yang diungkap secara gamblang dan intens kepada masyarakat kala itu, cenderung terabaikan.


"Rakyat menjadi rugi, disapa, dimanfaatkan untuk kemudian ditinggalkan. Politik yang sebenarnya itu berorientasi pada ideologi, gagasan, dan program. Karena itu, output-nya harus kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan sesaat," tegasnya.

Dedi mengaku, ada sejumlah catatan yang dirangkumnya selama 15 tahun berkeliling menyapa masyarakat, berikut solusinya. Setiap solusi hanya memerlukan kesadaran kepala daerah untuk menerapkannya menjadi sebuah kebijakan.


"Sudah 15 tahun saya berkeliling. Kalau bulan Ramadan, biasanya ditemani Pak Kiai Jujun Junaedi. Beliau saksi hidup, bagaimana saya menemukan berbagai masalah dan solusinya," ungkapnya.

Pria yang mahir berkesenian Sunda itu juga mengibaratkan kondisi politik yang kadung terjadi hari-hari ini, seperti menanam kelapa. Di bulan ramadan ini misalnya, buah kelapa kerap disajikan dengan berbagai olahan yang menggugah selera. Es kelapa pun menjadi salah satu menu favorit yang biasanya diburu masyarakat untuk berbuka puasa.

"Pertanyaannya, siapa yang menanam kelapa yang kita konsumsi? Mungkin dia sudah berumur tua, atau bahkan sudah meninggal. Jadi, orang tua dulu menanam dengan ikhlas pohon kelapa itu, untuk anak cucunya kelak," paparnya.

Keikhlasan menanam kebaikan inilah yang dirasa Dedi semakin sulit ditemukan dari insan perpolitikan di Tanah Air. Jika kondisi ini terus berlanjut, keinginan untuk menyejahterakan rakyat hanyalah sebuah keniscayaan yang tidak akan pernah terwujud.

"Hari ini, orang hanya ingin menanam yang instan saja untuk jangka pendek. Politik instan, semua instan. Kalau seperti ini, politik tidak akan pernah terasah karena tidak pernah mencerahkan bangsa. Tujuan kesejahteraan tidak akan terwujud," ujarnya.

Dedi pun mencontohkan Rasulullah saw sebagai sosok yang harus dijadikan panutan dalam konteks perpolitikan. Rasulullah menuntun umat membangun peradaban dalam segala sendi kehidupan.


Negeri ini pun pernah diberikan sosok panutan, yakni Dwitunggal Soekarno-Hatta yang diakui Dedi menjadi teladan sejati bagi para pejuang kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan yang telah diwariskan kepada rakyat, merupakan modal yang diberikan oleh keduanya untuk membangun dan menata bangsa.

"Pertanyaannya, sudahkah hari ini kita mengadopsi nilai perjuangan yang mereka anut dalam gerakan politik kita?" pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar