Jumat, 07 September 2018

Kisah si Miskin Bertahan Hidup di Ibu Kota



Beritapusat99 - DADANG (52) dan anak sulungnya sibuk menurunkan barang bekas dari dalam gerobak. Puluhan kardus bekas dan botol minuman yang dimulungnya sejak pagi hingga sore itu disortir lalu dijual. Uangnya untuk biaya hidup istri dan dua anaknya.

"Seharian muter saja, cari kardus, botol bekas, alumunium, dan besi," kata Dadang saat berbincang dengan Beritapusat99, Selasa 3 September lalu, di kampung pemulung, Jalan Gendang, Duren Sawit, Jakarta Timur.

Dadang asal Cianjur, Jawa Barat nekat merantau ke Jakarta. Nasibnya tak mujur. Dia tidak memiliki pekerjaan tetap dengan gaji layak. Tapi, Dadang tak mau mengamis, dia rela jadi pemulung, pekerjaan yang sudah 17 tahun menghidupinya.

Bersama keluarga, dia tinggal di rumah bedeng terbuat dari papan dan seng bekas di kawasan kampung pemulung Jalan Gendang. Tidur di lantai, tak ada kasur atau ruangan khusus.

"Di satu tempat ini saya tidur, di belakang kamar mandi sebelahnya dapur," tutur Dadang.

Potret kampung pemulung di Duren Sawit, Jakarta (Putera/Okezone)

Potret kemiskinan kontras terlihat di kampung pemulung tempat Dadang bermukim. Gubuk-gubuk reot berdiri di antara sampah dan gerobak, jauh dari standar kesehatan.

Meski hidup pas-pasan dalam balutan kemiskinan, Dadang tak berniat balik ke kampung. Dia sedang mengurus administrasi agar diakui jadi warga DKI dan melanjutkan nasib sebagai pemulung.

Seharian memulung, Dadang paling banter mendapat Rp70 ribu, itupun kalau harga barang bekas lagi mahal. Dengan pendapatan segitu, pontang-pantinglah dia menutupi kebutuhan hidup, apalagi harga barang kian mahal.

"Jakarta hidup keras banget ya Allah. Harus bisa bertahan dan maanfaatin yang ada aja," tutur Dadang yang sesekali mengelap keringatnya.

Royani (36), warga Kampung Pulo, Jakarta Timur memanfaatkan rakit atau getek untuk bertahan hidup. Dia menawarkan jasa penyeberangan untuk warga dari Kampung Pulo ke Kampung Melayu atau sebaliknya. Kedua kampung dipisahkan oleh Kali Ciliwung.

"Sehari-hari narik getek ini saja, nunggu warga yang mau menyeberang," kata pria kelahiran Cibinong, Jawa Barat ini. Dia menarik tali dan getek warisan orangtuanya yang bermuatan enam orang pun pelan bergerak ke seberang.

Sekali menyeberang, tarifnya Rp1.000. "Saya tak matok harga, kalau anak sekolah kadang gratis," ungkapnya.

Sehari, Royani bisa mendapatkan Rp50.000 dari getek. Uang itu digunakan untuk makan dan sekolah dua anaknya yang berumur 9 dan 12 tahun.

Royani merupakan warga Kampung Pulo, korban penggusuran masa gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Rumahnya di bantaran Kali Ciliwung telah rata dengan tanah.

"Dahulu rumah saya berdiri di sini," kenang pria lulusan SMP itu sembari menunjuk bekas bangunan rumahnya.

Potret kemiskinan kentara terlihat di bantaran Kali Ciliwung. Mereka yang tinggal di sana memanfaatkan Kali Ciliwung bukan saja untuk mencuci, tapi juga buang hajat.

"Tidak ada kamar mandi, septic tank-nya langsung dibuang ke Kali Ciliwung," kata Nia (53), nenek empat cucu yang sudah setengah abad tinggal di bantaran Ciliwung.

0 komentar:

Posting Komentar