
Beritapusat99 - BELAKANGAN ini media sosial dikagetkan dengan kabar sebuah kedai bakmi yang pelayannya mengenakan kostum perawat. Hal yang menarik di sini ialah tampilan pelayannya bisa dikatakan super seksi!
Informasi ini menyebar dengan cepat. Bahkan, tak sedikit dari netizen yang menggunakan foto-foto pelayan restoran tersebut sebagai bahan bercanda di kalangan kaum Adam. Ya, jadi bahan guyonan saat makan siang bareng teman-teman.
Kedai tersebut adalah Kedai Bakmi Janda. Sebetulnya, kedai ini sudah terkenal sebelumnya di media sosial. Selain karena namanya yang kontroversial, penjualnya pun bisa dikatakan menarik perhatian. Tante-tante dengan tampilan bisa dikatakan seksi.
Nah, informasi baru ini adalah kedai tersebut membuka cabang baru dan konsep "menantang" mereka tampilkan di kedai barunya itu. Adalah seluruh pelayan resto mengenakan kostum perawat atau suster tapi seksi.
Siapa yang tak tergoda untuk sekadar mencari tahu? Bahkan, tak sedikit kemudian pelanggan pria mencari lokasi kedai ini untuk membuktikan seberapa cantik para pelayannya. Sedikit informasi, jika Anda duda dan berniat makan di sini, ada diskon khusus yang mereka tawarkan.
Kita tinggalkan kehebohan kedai tersebut dari sisi ekonomi. Sebab, ada hal lain yang perlu dibahas di sini yaitu konsep pelayan berpenampilan seksi. Untuk menjelaskan bagaimana konsep ini dinilai masyarakat, Okezone coba mewaancarai seorang psikolog profesional.
Adalah Psikolog Meity Arianty STP., S.Psi., M.Psi. Dia menjelaskan bahwa yang dilakukan kedai itu adalah bentuk dari pelayanan. Ini berkaitan dengan Psikologi Pelayanan yaitu proses interaksi antara seseorang yang berupaya memenuhi kebutuhan dengan seseorang yang ingin terpenuhi kebutuhannya dalam hal ini pelanggan.
Psikolog yang biasa disapa Mei itu coba mengambil referensi, menurut Endar Sugiarto (1999) salah satu delapan dasar pelayanan adalah: Pusatkan perhatian pada pelanggan, berikan pelayanan yang efisien, atau ketahuilah apa keinginan pelanggan.
"Hal ini yg dilakukan pemilik ‘ kedai ‘ tersebut. Dia tahu apa yang diinginkan pelanggan, siapa sasaran yang ingin dituju, dan apa yang menjadi daya tarik oleh hal yang ingin di ‘jual’," kata Mei melalui pesan singkat, Selasa (10/7/2018).
Mei melanjutkan, pemilik rasanya menyadari betul bahwa untuk menarik pelanggan mereka harus ‘menjual‘ sesuatu yang tidak biasa atau sesuatu yang dapat menjadi magnet bagi pelanggan atau tamu.
Seperti yang banyak dipahami, bahwa manusia ingin selalu diperhatikan, dihargai, dan dibuat senang. Nah, Mei menekankan bahwa senang ini yang kemudian menjadi "senjata" kedai tersebut menarik perhatian masyarakat.
"Tidak bisa dipungkiri, mungkin ada yang datang ke kedai tersebut awalnya penasaran, namun lebih dari itu, saya percaya ada motiv yang melatarbelakangi sehingga tamu atau pelanggan mengunjungi tempat tersebut karena yang “dijual” di kedai itu selain makanan ada hal lain yang menarik yaitu "wanita"," papar Mei.
Mei coba menjelaskannya dengan konsep teori Maslow, di mana setiap individu memiliki tingkat kebutuhan tertentu, dari yang terendah sampai yang tertinggi, sehingga orang akan cenderung memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya. Nah, kaitannya dengan Kedai Bakmi Janda ini adalah mungkin kebanyakan pria yang mendatangi kedai tersebut adalah pria-pria yang ingin memuaskan ‘kebutuhannya’.
Mei memaparkan bahwa fakta di masyarakat menjelaskan hal ini masih laku dan hal seperti ini dicari oleh mereka yang mencari kesenangan atau untuk orang-orang yang belum terpuaskan ‘kebutuhannya’.
Lalu mengapa perempuan berpotensi untuk dieksploitasi? Sebab, mau tidak mau berarti Kedai Bakmi Janda menjual keseksian perempuan
Mei menjawab, itu karena tubuh perempuan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kembali, Mei menggunakan referensi dari Bungin (2006), di mana dijelaskan di sana figur perempuan cenderung dianggap sebagai sub-ordinat laki-laki, yaitu berupa ‘pelengkap’ dalam iklan.
Lebih lanjut, sensualitas perempuan dalam hal ini bukan saja didukung oleh kerelaan perempuan itu saja, namun juga karena kebutuhan kelas sosial itu sendiri. Sehingga, mau atau pun tidak, kehadiran perempuan dalam kelas sosial itu masih menjadi bagian dari refleksi realitas sosial masyarakatnya. "Bisa dikatakan, perempuan selalu menjadi subordinat kebudaayaan laki-laki. Saya rasa, pemiliki kedai memahami betul akan hal ini," tegasnya






0 komentar:
Posting Komentar