Minggu, 19 Agustus 2018

Nilai Ekspor Industri Diprediksi Tembus USD143,22 Miliar di 2019


Beritapusat99 -  Kementerian Perindustrian memperkirakan nilai ekspor sektor industri terus mengalami peningkatan dari USD110,5 miliar pada 2016 dan diperkirakan menjadi USD143,22 miliar pada 2019. Peningkatan tersebut didorong kontribusi yang mayoritas berasal dari ekspor industri manufaktur hingga 71,59%. Saat ini periode Januari-Juni 2018 total ekspor nasional mencapai USD63,01 miliar atau naik 5,35% dibandingkan periode sama tahun 2017 sebesar USD59,81 miliar.


“Dengan menerapkan industri 4.0, aspirasi besar nasional yang akan dicapai adalah membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi pada 2030 dan mengembalikan angka net ekspor industri 10% dari total PDB,” tutur Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta. Sementara dilihat dari neraca perdagangan, sektor industri berbasis sumber daya alam masih menunjukkan kinerja positif.

Pada Mei 2018 sektor manufaktur yang mengalami surplus adalah industri kayu, barang dari kayu dan gabus sebesar USD387,32 juta, industri kertas dan barang dari kertas USD310,71 juta, serta industri furnitur USD101,90 juta. Selain itu, subsektor lainnya industri pakaian jadi juga menunjukkan surplus perdagangan senilai USD696,29 juta. Menurut Airlangga, sepanjang tahun 2017 industri menjadi penyumbang tertinggi hingga 74,10% dalam struktur ekspor Indonesia dengan nilai mencapai USD125,02 miliar.

“Rasio ekspor kita pada periode 2015-2017, produk hilir mendominasi sebesar 78 %, sisanya produk hulu. Ini berkat peran dari sektor manufaktur,” ungkapnya. Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, prediksi pemerintah yang memperkirakan nilai ekspor sektor industri mengalami peningkatan sejak 2016 hingga 2019 dinilai wajar. Menurutnya, kinerja ekspor di sektor industri tahun depan juga akan berkurang dari tekanan eksternal yang ditunjang dengan perbaikan di sektor ekonomi. Saat ini defisit neraca perdagangan masih ditopang ketergantungan industri manufaktur terhadap impor barang-barang setengah jadi. Di sisi lain, impor minyak dan gas (migas) juga masih tinggi.

Hal ini belum ditambah dengan faktor eksternal seperti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan kenaikan harga minyak dunia. “Kalau satu tahun ke depan ketergantungan impor kita berkurang, saya kira ekspor industri ini memberikan kontribusi yang baik. Meski belum signifikan,” ucapnya kepada KORAN SINDO di Jakarta, kemarin. Namun, meningkatnya kinerja ekspor sektor industri dinilai belum mampu menutup defisit neraca perdagangan. “Yang penting memang adalah mengurangi ketergantungan kita terhadap bahan impor. Makannya, penguatan dari hulu hingga hilir industri itu harus bisa diperkuat lagi,” ucapnya.

Terpisah, ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai prospek ekspor industri tahun depan masih cukup stabil terutama di pasar tradisional seperti Eropa, AS, dan China. Meskipun tensi perang dagang meningkat, namun pertumbuhan ekonomi AS dan China pada saat yang bersamaan tumbuh tinggi. Ekonomi AS di kuartal II/2018 berhasil tumbuh 4,1% dan mengakibatkan permintaan terhadap barang secara umum meningkat. “Tantangannya pelemahan kurs rupiah membuat biaya bahan baku industri pengolahan meningkat dan harga minyak memicu mahalnya ongkos logistik,” jelas Bhima.

0 komentar:

Posting Komentar