Jumat, 10 Agustus 2018

Pilpres 2019 Menjelang, Dedi Mulyadi Minta Perdebatan Sisa Pilkada 2017 Diakhiri

Beritapusat99 - Suhu politik jelang perhelatan pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 semakin memanas. Opini-opini tentang bakal calon dan pasangannya pun mulai bermunculan. Ditambah lagi, beberapa tahun belakangan ini publik seolah terbelah menjadi dua kubu. Mungkin, fenomena dua kubu ini adalah mereka-mereka yang tidak kunjung 'move on' di Pilkada Jakarta.

Memang, kontestasi politik Tahun 2017 lalu itu telah melahirkan perubahan kepemimpinan. Akan tetapi, kesinambungan pembangunan tidak terjadi. Budayawan Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyampaikan seruan moral dalam kontestasi politik saat ini. Menurut dia, Agama dan Ideologi tidak sepantasnya dieksploitasi untuk kepentingan politik pragmatis.

"Satu kubu merasa paling berhak atas narasi nasionalis-pluralis. Kubu yang lain merasa memiliki otoritas berjihad melalu sosial media dengan narasi agama. Padahal sebenarnya mereka satu bangsa," ujar pria yang juga Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat itu kepada Okezone di Purwakarta, Kamis (9/8/2018).

Menurut Dedi, fenomena ini harus segera dihentikan. Pasalnya, jika hal ini terus dibiarkan maka energi anak bangsa akan habis untuk hal yang tidak substansif seperti itu. Sementara, pemikiran sekaligus pembangunan harus terus berlangsung secara berkesinambungan.

"Kritik di sosial media saat ini, justu lebih menjurus pada ejekan. Bukan bersifat otokritik yang konstruktif agar ada perbaikan kepemimpinan. Padahal, menurut saya kesinambungan positif dalam berbagai bidang lebih utama dibanding perdebatan yang tersaji," jelas dia.

Dedi juga mencontohkan fenomena dua kubu yang tidak kunjung 'move on' di Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu. Memang, kontestasi politik Tahun 2017 lalu itu telah melahirkan perubahan kepemimpinan. Akan tetapi, kesinambungan pembangunan tidak terjadi.

"Kalau mau objektif, Pak Ahok ada sisi keberhasilannya, tetapi ada juga sisi lemahnya. Begitupun Anies-Sandi, ada fokus yang menjadi perubahannya, ada juga hal yang dia lupakan," seloroh dia.

Sebagai contoh, kawasan Kalijodo menjadi salah fokus telaah Dedi. Menurutnya, seringkali trade mark personal mengalahkan kepentingan yang lebih besar. Kalijodo dianggap publik sebagai trade mark Ahok. Jika dilanjutkan Anies-Sandi akan menimbulkan anggapan tidak tercipta tren kreativitas baru.

"Kalau mau jujur, pemimpin di setiap masa pastilah memiliki jasa. Apabila bermanfaat, saya kira layak untuk diteruskan," tuturnya.

Bukan hanya Pilkada DKI 2017, Pilpres 2019 pun menurut Dedi menyisakan residu energi dari Pilpres 2014 lalu. Narasi yang persis sama masih berseliweran menghiasi time line sosial media dalam rangka menggiring opini publik.

Parahnya lagi, baik narasi nasionalisme maupun agama telah diarahkan untuk menyulut emosi publik. Menurut Dedi, jika hal ini terus dibiarkan tingkat kerusakan tenun kebangsaan akan semakin parah.

"Kalau dua kubu ini mengalami kekecewaan, mereka bisa menjadi oposan yang absurd. Ini buah dari kegagalan mengelola politik aliran, timbul ketidakpercayaan terhadap elite politik," tambah dia.

Keriuhan perdebatan ini menurut Dedi justru tidak terjadi di kalangan elite politik. Tidak ada narasi nasionalisme maupun agama yang menjadi pokok bahasan. Yang ada, justru para elite ini hanya berfokus pada peningkatan nilai elektoral partai. Hal ini tercermin dari alotnya penentuan nama cawapres dari kubu petahana maupun penantang di Pilpres 2019. Kejujuran, kata dia, harus menjadi panglima dalam kehidupan politik kebangsaan.

Dua narasi besar yang menjadi perdebatan itu tidak kita temukan di elit politik kita. Publik terbelah menjadi cebong dan kampret, sementara elit baik-baik saja. Bahkan kini muncul istilah baru, ada kardus pula. Maka saya tegaskan, saya bukan cebong, saya bukan kampret, saya bukan kardus, saya ini golkar," pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar